Sabtu, 29 Juni 2013

Lahirnya suatu gerakan



Mengibarkan merahnya komunisme menghantam tradisi oposisi. Pesolek-pesolek semacam wahabi, syiah dan ahmadiyah adalah gerakan-gerakan yang mengambil peran sebagai oposisi terhadap kemapanan Islam, karena mereka tidak menemui sedikitpun kenyamanan dalam tradisi Islam. Tentunya untuk membentuk dan menguatkan tradisi masing-masing.



Komunisme adalah bentuk revisi oleh Lenin terhadap Marxis, sedang Marxisme sendiri adalah suatu kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis. Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial, ia adalah dasar teori komunisme modern. Marxis Menolak Kapitalisme karena menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar,  Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh.Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.Untuk menyejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme harus diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan.

Islam dan komunisme tidak akan pernah dapat bersatu, keduanya memiliki daya tolak terhadap satu sama lain dari kecenderungan komunisme yang atheis. Berdasarkan dalil Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candulah kaum komunis mengharamkan agama.

Tapi diantara dua kutub yang tidak saja hanya berseberangan (yang bahkan saling tolak-menolak) ini terdapat sedikit peluang untuk menerbitkan suatu gerakan pendobrak. Memang dengan fakta-fakta sejarah yang ada, pertemuan Islam dengan komunis malah menumbuhkan ketegangan-ketegangan, bahkan muncul konflik berdarah dari kegagalan Soekarno untuk menyelaraskannya melalui proyek NASAKOM.



Bahkan sejarah yang mengulas H.M. Misbach, tokoh muslim-marxis dari Surakarta mencatatkan kesimpulan (yang mungkin sangat tergesa-gesa) bahwa "Misbach adalah seorang pragmatis yang sebenarnya tidak mengetahui secara mendalam tentang konsep Islam dan komunisme".Hampir tidak terdapat klarifikasi dalam hal-hal semacam ini, hingga  sejarah pula yang membuka peluang bagi penjelasan-penjelasan yang seharusnya ada, dimana sejarah tiba-tiba menyodorkan kritik H.M. Misbach terhadap keraton dan kemapanan lembaga yang ada seperti Muhammadiyah, SI dan Mambaul ulum "Bahwa kalutnya keselamatan dunia ini, tidak lain hanya dari jahanam kapitalisme dan imperialisme yang berbudi buas itu saja, bukannya keselamatan dan kemerdekaan kita hidup dalam dunia ini saja, hingga kepercayaan kita hal agama pun dirusak olehnya." (Nasehat, 1926)



Dalam kesempatan lain, H.M. Misbach melayangkan kritik  "Kawan kita yang mengakui dirinya sebagai seorang komunis, akan tetapi masih suka mengeluarkan pikiran yang bermaksud akan melenyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukanya Komunis yang sejati, atau mereka belum mengerti duduknya komunis; pun sebaliknya, orang yang suka dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya Komunisme, saya berani mengatakan bahwa ia bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam" (Islamisme dan Kommunisme, 1925), tepat tertuju pada kaum komunis yang anti Islam dan umat Islam yang anti komunis.

Adapun istilah lain yaitu "kiri Islam" yang pada dasarnya memperdebatkan relevansi Marxisme sebagai gerakan pembebasan, ia bukanlah Islam yang berbaju marxis.

Islam-komunis bukanlah suatu tarekat atau bahkan gerakan khilafah sebagaimana kaum wahabi, ini adalah kondisi, tentunya kondisi dan situasi yang dihadapi dan sedang dijalani oleh seorang muslim, mengenai kesadarannya untuk melakukan gerakan pembebasan. Komunisme harus kembali dimurnikan sebagai Marxis tanpa harus mengikuti pikiran-pikiran Lenin, ia adalah teori dasar gerakan pembebasan.

Mungkin sebenarnya cukup dengan Islam, tapi kenyataan berbicara lain, Islam mengalami perpecahan tanpa mempertimbangkan upaya membebaskan umat dari ketertindasan, bahkan gerakan wahabi di seluruh negara telah juga mengembalikan bentuk keterasingan: ketakutan.

Wahabi dipahami sebagai gerakan imperium yang bertopeng aqidah Islam, gerakannya murni politik teritorial alias penguasaan melalui penaklukkan dan penundukan.